Friday, June 04, 2004

Ke Gunung, Hutan atau Pantai?

Dalam dua minggu yang lalu, saya telah bergaul dengan dua keindahan alam yang berbeda. Dengan berbagai tantangan baik dari alam maupun dari manusia. Dua tempat yang saya kunjungi benar – benar bertolak belakang, yaitu ke Gunung Halimun dan Bali.Mana yang paling menarik? Simak cukilannya dengan bumbu, perasaan tertekan, keluhan demi keluhan dan tentunya pelajaran berharga..

Enjoy….

Saya benci Gunung dan Hutan

“Apa, ke Gunung Halimun?...gak jadi ke pantai?? Katanya mau ke Anyer!” Itu adalah reaksi pertama saya ketika mengetahui tempat yang akan dipilih klien untuk melakukan aktifitas PR untuk produk terbaru. Seketika tubuh saya lemas, yang saya bayangkan adalah hutan lebat, sungai yang mengalir deras dan perjalanan yang pasti membosankan. Mati – matian saya mencari seribu alasan untuk tidak ikut serta. Tapi apa boleh buat, saya tidak boleh “tidak ikut”.

Dengan berat hati dan perasan masygul, saya mempersiapkan segala sesuatunya mulai meminjam jaket anti air suami, mencari sepatu atau sendal gunung. Saetelah semua siap, berangkatlah saya menuju Gunung Halimun bersama dengan belasan rekan wartawan yang kami undang. Saya akan berada di Gunung Halimun selama 3 hari dua malam.

Dengan menaiki minibus, kami melewati tol Ciawi menuju sukabumi – lido- parung kuda lalu mengarah ke Gunung Halimun. Selepas perjalanan dari Lido menuju parung kuda, jalanan yang kami lewati penuh liku dan bebatuan. Berhubung saya duduk di bangku paling belakang, guncangannya sangat terasa. Hal ini menambah daftar kekesalan saya. Tidak henti – hentinya saya mengeluh dalam hati. Yang terbayang di otak saya adalah desir ombak bergulung- gulung di pantai kuta dan pantai di Nusa Dua. Saya kuatkan hati untuk mulai menikmati perjalanan ini. Sebentar – sebentar saya melihat layar ponsel saya, siapa tahu ada yang menelpon. Tapi betapa kagetnya saya, tiba – tiba signal telpon tidak tampak lagi di layar.

“Haaaa???? Tidak bisa terima telpon – gak ada signal?Oh No!!!!” pekik saya dalam hati. Ughh… I hate forest and Mountain!!!!.

Setelah menempuh 5 jam perjalanan plus berhenti sebentar karena minibus kami tergelincir ke dalam parit, akhirnya kami tiba di Guest House yang terletak di dalam gunung Halimun. Selama tiga hari bersama dengan belasan rekan wartawan, kami akan melewati berbagai aktifitas seperti melewati canopy trail, trekking di Taman Nasional Gunung Halimun, menikmati panorama, melihat kera langka OWA dan Burung Rajawali.

Berhubung hujan, perjalanan menuju canopy trail dibatalkan dan baru akan dilaksanakan pada keesokan harinya. Hari ke dua kegiatannya adalah melihat matahari terbit, melewati canopy trail dan yang paling menakutkan adalah trekking menuju desa Citalahab.


Setelah melewati malam yang penuh dengan kegusaran, saya bangun pagi dengan berat hati. Berpura – pura tidur, saya terbebas dari perjalanan melewati Canopy Trail. Sepulang dari Canopy Trail, belasan rekan wartawan yang turut serta bercerita tentang serunya, dan penuh tantangan melewati canopy trail yang berupa jembatan antar pohon. Sebagai informasi canopy trail di Indonesia hanya tiga buah, salah satunya di Gunung Halimun. Sambil melihat foto – foto di kamera digital, saya membatin “Untung Gak ikut!”

Setelah makan pagi, kami bersiap – siap untuk trekking. Segala persiapan mulai dari jaket anti air, makanan kecil, air minum, baju, sepatu dan sendal trekking. Berhubung saya takut terkena pacet, maka saya putuskan untuk memakai sepatu – yang walaupun bukan sepatu trekking, setidaknya bisa melindungi saya dari hisapan pacet. Untuk berjaga – jaga saya membawa sendal gunung – yang memang dikhususkan untuk semua kondisi alam-. Tapi nahas! Sendal saya dipinjam oleh salah satu klien saya yang hanya membawa selop dan sepatu kets – yang tidak mau digunakan “Ini soalnya pemberian pacar gue dari Paris dan gue takut kotor!” (Duh!).Dengan berat hati saya pinjamkan sendal saya.

Perjuangan dimulai!

Kami akan trekking sejauh 1800 meter dan berakhir di Desa Citalahab. Baru dua langkah meninggalkan guest house, saya sudah mengeluh! Bagaimana tidak, sepatu saya licin sekali, sedangkan jalan yang kami lewati sangat becek dan bebatuannya sangat licin. “Penderitaan” pun dimulai! Dengan sepatu licin, saya melewati jalan yang penuh terjal dan berliku. Mata harus awas, napas harus diatur, jejak langkah harus tepat, bila salah melangkah, kemungkin tergelincir ke dalam parit yang dalam, “sangat besar!”

Benar kata petuah bijak kalau sifat seseorang akan terlihat nyata ketika berada di Gunung. Beberapa rekan wartawan yang baru saya kenal (baca: bertemu pada saat – saat tertentu saja), dengan baik hati dan ringan tangan membantu saya, melewati hutan Halimun dan sungai Cikaniki. Beberapa kali saya terperosok, sempat mengalami phobia ketinggian dan ketakutan yang teramat untuk melangkah, akhirnya saya sampai juga di Desa Citalahab. Berkat genggaman tangan yang erat dari rekan wartawan dan teman – teman lainnya, saya berhasil melewati perjalanan sejauh 1800 meter.

Trekking diakhiri dengan makan siang di desa Citalahab. Sambil mengunyah, saya terus –menerus terbayang jalan yang baru saya lewati. Terbayang pula kehidupan saya di Jakarta yang begitu mudah dan nyaris tanpa tantangan. Terucap syukur di hati saya pada apa yang saya miliki dan apa yang telah saya lewati.

Keesokan harinya sebelum kembali ke Jakarta, kami mengunjungi pabrik teh. Di hari terakhir justru saya sangat menikmati perjalanan ini. Berulang kali saya mengucapkan nama Tuhan ketika berada di ketinggian dan melihat Maha karya Tuhan, Lereng perkebunan teh yang teramat indah, wangi teh menusuk hidung begitu segar terasa.

Hidup selama tiga hari di Taman Nasional Gunung Halimun, tanpa signal handphone, saya sedikit berhasil menaklukan rasa takut dan menghilangkan kebencian saya akan Hutan dan Gunung.

Pulang ke Jakarta, hati dan pikiran saya sedikit segar, apalagi minggu depan saya akan Ke Bali bersama suami dan anak. Setidaknya setelah melewati serangkaian “penderitaan” di Gunung Halimun, saya akan menebusnya dengan bermandikan sinar Matahari di Bali!

Bali, here I come!!!!

Tiket dan hotel sudah beres, tinggal mencari rental mobil. Lewat bantuan seorang teman suami di Bali, kami berhasil mendapatkan mobil sewa dengan harga yang cukup beralasan dan untungnya kami tidak harus membayar supir, karena si teman tersebut bersedia mengantarkan kami kemana – mana.

Saya meninggalkan Bandara Soekarno Hatta dengan hati senang, terbayang pantai – pantai indah, Tanah Lot, Uluwatu, Celuk, sepanjang Jalan Legian dan berbagai tempat lainnya yang tentu saja membuat semangat berlibur tambah ”poll”. Selama tiga hari dua malam, saya akan menikmati semua keindahan Bali!

Setibanya kami di Bandara Ngurah Rai, kami langsung dijemput teman suami. Nah, di sinilah petualangan sebenarnya terjadi. Di mobil, si ”teman’ memutar kaset yang sepertinya berisi tentang propoganda sebuah MLM. Awalnya narator sebuah produk MLM ini tidak terlalu menggangu, lama kelamaan duh ganggu banget.

Sesudah chek in, kami lalu siap – siap untuk jalan – jalan. Sebenarnya hari pertama, saya merencanakan untuk berbelanja oleh – oleh, tapi si ”teman” sepertinya yang punya rencana. Dia tidak segan – segan mengatur kemana tujuan kami hari itu. Akhirnya diputuskan untuk ke Garuda Wisnu Kencana (GWK). Walau berat, saya dan suami sepakat saja untuk berangkat ke tempat itu. Hitung – hitung bisa berfoto bersama si kecil berlatar belakang patung – patung dan panorama di GWK. Setelah itu kami lalu melihat matahari terbenam di Uluwatu. Wah indah sekali. Tapi kami tidak bisa berlama – lama, karena si kecil sudah harus diberi makan sore. Kami kembali ke hotel.

Malam harinya, kami berencana untuk mampir di De Javu. Tapi lagi – lagi si”teman” mengatur kemana kami harus pergi. Akhirnya kami pergi ke kafe di dekat daerah Sanur. Hmmm, Basi! Itu pendapat saya pertama kali menginjakkan kaki ke kafe tersebut. This is just not me!

Selepas mengunjungi kafe ”asing” tersebut kami kembali ke hotel. Di hotel saya langsung mengeluh pada suami tentang “temannya” itu. Suami juga merasa sangat kecewa sekali. Setelah berembuk akhirnya kami memutuskan untuk menyewa mobil lewat si “teman” selama dua hari saja.

Esoknya kembali lagi si ‘teman” berulah. Waktu yang sudah disepakati untuk berangkat dari hotel tidak ditepati. Terpaksa suami saya menjemput ke rumahnya, karena mobil sewaan di parkir di rumahnya. Dan ternyata dia masih bersantai – santai. Haduh!!

Akhirnya dengan perasaan kesal, kami berangkat menuju pasar Sukowati untuk berbelanja oleh – oleh, lalu setelah itu mampir di Celuk untuk membeli perak. Sepanjang perjalanan si ’teman’ terus gencar berpromosi tentang visi MLM tersebut.

Dengan sedikit berbasa – basi, akhirnya suami mengutarakan niatnya untuk menghentikan penyewaaan mobil. Untung dia setuju – tapi kalau dia tidak setuju apa haknya yah? 

Sore itu saya dan suami menghabiskan waktu di pantai di sekitar jalan Double Six. Sambil memandang matahari yang perlahan terbenam, kami berdua termenung tanpa berbicara sepatah katapun. Entah apa yang dipirkan suami saya, yang jelas pikiran saya tiba – tiba melayang pada saat – saat saya berada di Gunung Halimun.Walaupun tempat dan keadaanya sangat tidak saya sukai yaitu Gunung dan Hutan, saat itu saya begitu bahagia melihat rekan – rekan wartawan yang dengan ringan tangan bahu membahu membantu satu sama lainnya dan tentu saja suasana akrab yang kami lewati. Sedangkan di tempat dan keadaaan yang teramat saya sukai, saya melewatinya dengan kekesalan hati dan kesedihan atas keegoisan seorang yang kami anggap ”teman”.

Di hari ke tiga, saya dan suami memutuskan untuk menyewa mobil tidak melalui si ”teman’. Hari ini suami, anak, pengasuh bayi dan saya pergi ke pantai. Wah senang sekali! Hati rasanya lega sekali, apalagi melihat si kecil bermain – main air dan pasir.

Saat – saat indah di hari terakhir berlalu begitu cepat. Tak terasa kami sudah harus kembali lagi ke Jakarta.

Di pesawat saya tidak bisa memejamkan mata. Saya masih terbayang liburan di Bali yang baru saja kami lewati. Ada sedikit perasaan menyesal, kenapa semua ini harus terjadi, kenapa liburan kami harus direcoki dengan keegoisan dan pemaksaan ”visi” dari si ”teman” suami. Seakan bisa membaca pikiran saya, suami saya tiba – tiba berkata, ”Sudah gak usah dipikirkan, yang sudah biar berlalu, gak selamanya yang kita anggap menyenangkan akan selalu berakhir menyenangkan dan yang tidak sukai akan berakhir tidak menyenangkan, Just enjoy... Things happened for reason”

Beberapa hari kemudian, saya melihat – lihat foto – foto yang kami ambil saat di Gunung Halimun dan di Bali. Dua keadaan yang membuat mata dan hati saya terbuka. Melewati ketakutan, kesenangan, semangat, kekesalan dan kemarahan, ternyata membuat saya lebih dewasa dan jadi lebih banyak bersyukur terhadap apa yang saya miliki dan tentu saja tidak akan menyesali apa yang sudah terjadi.











0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Free Hit Counters